26/07/07

Cerpen

TANGIS UNTUK ADIKKU

Aku dilahirkan disebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil, hari demi hari orang tua ku membajak tanah kering kuning, dan punggungnya menghadap kelangit. Aku mempunyai seorang adik yang 3 tahun lebih mudah dariku. Yang mencintaiku lebih dari aku mencintainya.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sarung tangan yang mana smua gadis di sekelilingku memilikinya, aku mencuri 50 sen dari laci ayahku, ayah segerah menyadarinya, dan membuat kami berdua berlutut didepan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu.?” Beliau bertanya, aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku, jadi beliau bertanya, “baiklah, kalau begitu, kalian layak dipukuli”.
Dia mengangkat tongkat bambu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkram tangannya dan berkata, “ayah..aku yang melakukannya…”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marah sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai beliau keabisan nafas. Sesudahnya, beliau duduk diranjang batu bata kami dan memarahi, “kamu sudah berani mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apalagi yang akan kau lakukan dimasa mendatang..?kamu layak mati, kamu pencuri tak tau malu”
Malam itu aku dan ibuku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya dipenuhi luka, tetapi ia tidak menitikan air mata setetes pun. Di pertangahan malam itu aku menangis maraung-raung. Adikku menutup mulutku denagn tangan kecilnya dan berkata, “kak, jangan menangis lagi sekarang semua itu sudah terjadi”.
Aku masih membenciku karena tidak memiliki keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun sudah lewat namun insidat itu masih terasa baru kemarin. Aku tidak akan lupa wajah adikku ketika melindungiku. Waktu itu adikku berusia 8 tahun da aku 11 tahun.
Ketika adikku berada pada tahun terakhit di SMP, ia lulus untuk masuk SMA dipusat kabupaten, pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk universits provinsi. Malam itu ayah berjongkok di halaman, sambil menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengar ayah berkata, “kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik, hasil yang begitu baik”, ibu mengusap air matanya sambil menghela nafas. “apa gunanya? bagaimana mungkin kita bias membiayai keduanya sekaligus”
Saat itu juga adikku berjalan keluar kehdapan ayah dan berkata, “ayah saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi”.
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.”mengapa kau memiliki jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika saya harus mengemis dijalan, saya akan menyekolahkan kalian berdua sampai selesai”
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah didusun-dusun untuk meminjam uang, aku menjulukan tangan selembut yang aku bisa kemuka adikku yang membengkak, dan berkata. “seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya sampai selesai, kalau tidak ia tidak akan meninggalkan jurang kemiskinan ini” aku, sebaliknya memutuskan untuk tidak meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, saat subuh datang. Adikku meninggalkan rumah dengan sehelai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang telah mengering. Dia menyelinap kekamarku dan menaruh secarik kertas diatas bantalku “kak, masuk universitas tidaklah mudah, saya akan pergi mencari kerja dan mengirimmu uang.”
Aku memegang kertas di atas tempat tidurku, dan aku menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu usia adikku 17 tahun dan aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun dan uang yang dihasilkan adikku dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ke 3. suatu hari aku sedang belajar dikamarku, ketika temanku masuk dan memberitahukanku,”ada seorang penduduk dusun menggumu disana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup semen dan pasir. Aku menanyakan. “mengapa kau tidak bilang pada teman sekamarku kalau kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum, “lihat bagaimana penampilanku, apa yang meraka pikir jika meraka tau kalau saya adalah adikku? Apa meraka tiadak akan menertawakanmu?”
Aku merasa terenyu, dn air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semua.dan tersekat-sekat dalam kata-kataku. “aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga.! Kau adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..!”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaiannya kepadaku, dan terus menjelaskannya, “saya melihat semua gadis kota memakaiannya, jadi saya piker kamu harus mamilikinya satu..”
Aku taidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku kedalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu ia berusia 20 tahun dan aku 23 tahun.
Pertama kali aku membawa pacarku kerumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan terlihat bersih dimana-mana. Setelah pacarku pulang aku menari seperti gadis kecil didepan ibuku. “bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersikan rumah kita.!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “itu adalah adikmu yang pulang lebih awal untuk membersikan rumah ini, tidakkah kau melihat tangannya.? Ia terluka saat mengganti kaca jendela itu.”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku, melihat mukanya yang kurus, serasa seratus jarum menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya, dan membalut lukanya. “apa itu sakit?” aku menyakannya.
“tidak, tidak sakit, kamu tahu, ketika saya bekerja dilokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku di setiap waktu, bahkab itu tidak menghentikanku berkerja, dan….”di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikan tubuhku memunggunginya, dan air mata deras turun kewajahku. Tahun itu adikku berumur 23 dan aku 26.
Ketika aku menikah aku tinggal di kota, tiap kali suami dn aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, dtetapi mereka tidak pernah mau, mereka mengatakan sekali meninggalkan dusun, mereka tidak tau harus berbuat apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan “kak, jagalah mertuamu, biar aku yang menjaga ibu dan ayah disini.”
Suamiku manjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mandapat pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolaktawaran tersebut, dan ia bersikeras memulai pekerjaan sebagai pakerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuh tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat senagtan listrik dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya , saya menggerutu, “mengapa kamu menolak menjadi menejer? Manajer tidak pernah malakukan hal yang berbahaya yang seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kamu tidak mendengarkan kami sebelumnya.?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “pikirkan kakak ipar ia baru saja menjadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan, jika saya menjadi manajer itu, berita apa yang akan dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian kuluar kata sepatah-sepatah, “tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“mengapa membicarkan masa lalu?” adikku menggemgam tanganku. Tahun itu ia berusia 26 tahun dan aku 29 tahun.
Adikku kemudian berusia 30 tahun ketika menikahi seorang gadis dari dusun itu. Dalam acara pernikahanya, pembawa acara itu bertanya kepadanya, “siapa orang yang kamu hormati dan kasihi?” bahkan tanpa berfikir ia menjawab “kakak ku”.
Ia kembali menceritakan sebuah kisah yang bahkan tidak dapat ku ingat. “ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang beerbeda, setiap hari kakakku dan saya berjalan selama 2 jam untuk pergi dan pulang kerumah. Suatu hari saya kehilangan satu dari sarung tanganku, kakakku memberikannya satu dari kepunyaannya, ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya gameteran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnuya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup saya akan menjaga kakakku dan berbuat baik kepadanya.
Tepuk tangan membanjiri ruang itu, semua tamu memalingkan pandangannya kepadaku.
Kata-kata yang begitu susah keluar dari bibirku, “dalam hidupku orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku” dan dalam kesempatan yang bahagia ini, didepan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran dari mataku seperti sungai……

1 komentar:

Anonim mengatakan...

link udah aku pasang, thanks ya..

In the News

Quote of the Day